Rabu, 09 Juli 2014

SEJARAH MUSIK GEREJAWI

Musik gerejawi adalah musik yang berkembang di kalangan Kristen terutama dilihat dari penggunaannya dalam ibadah gereja. Musik gerejawi dapat juga disebut sebagai ungkapan isi hati orang percaya (Kristen) yang diungkapkan dalam bunyi-bunyian yang bernada dan berirama secara harmonis, antara lain dalam bentuk lagu dan nyanyian. Sama dengan musik secara umum, dua unsur; vokal dan instrumental harus diperhatikan, dan terkhusus dalam bermusik di gereja yang sarat dengan makna teologis dan berkenaan dengan iman umat. Hal ini sangat penting untuk disajikan secara tepat agar umat mampu menghayati imannya dengan bantuan musik.
Prier (1998;14) mengatakan bahwa : “Istilah musik gereja secara harafiah berarti musik yang dipakai dalam gereja atau musik khusus dari umat sebagai suatu persekutuan gereja, namun secara khusus yang dimaksudkan adalah musik ibadah.” Musik gereja sebagai istilah umum dibagi antara musik liturgi yakni musik yang diciptakan dan dipakai khusus dalam ibadah dan musik rohani yakni musik yang diciptakan dan dipakai di luar ibadah.

Musik gereja dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Prier (1998:15) mengatakan bahwa :

Musik gereja dapat dikatakan sebagai musik seni, yakni musik yang bermutu tinggi dengan menimba dari kesenian suatu zaman dan musik praktis, yakni musik yang diciptakan terutama untuk dipakai dalam prefasi, aklamasi dan sebagainya

Terlepas dari perilaku penyanyinya, musik rohani adalah musik yang mengandung nilai-nilai ibadah, musik rohani adalah musik gereja dimana musik gereja adalah musik yang dipakai saat beribadah di gereja. Tujuan dari musik gereja adalah meninggikan dan mengagungkan Tuhan.
Dengan kata lain musik gereja sebagai istilah umum dibagi menjadi dua yaitu:
a. Musik liturgi yakni musik yang diciptakan dan dipakai khusus dalam ibadah dimana musik   merupakan bagian integral dalam liturgi.
b. Musik rohani yakni musik yang diciptakan dan dipakai di luar ibadah.
Selanjutnya Prier (1998:15) menyebutkan bahwa:
Di dalam musik gereja terdapat dua unsur yang terkandung di dalamnya yakni unsur rasional atau intelektual yakni untuk menyampaikan suatu pesan yang membawa makna dan arti tertentu dan unsur emosional atau segi musikal yang selalu melebihi peranan liturgi kearah apresiasi dan seni; ingin dinikmati dan dengan demikian juga merupakan suatu godaan untuk melepaskan diri dari tujuan tadi. Musik mengandung empat hal penting yaitu pitch, dynamic, tone color dan duration. Keempat hal tersebut merupakan satu kesatuan sehingga salah satu unsur tersebut tidak bisa berdiri sendiri. 

Saragih (2008:4) menyebutkan bahwa: “Musik dapat mempengaruhi jiwa dan emosi pendengarnya terlepas dari bentuk musik yang dimainkan itu”. Irama dengan tekanan nada yang beraturan cenderung mempengaruhi ritem psiko-fisik seseorang sehingga menjadi beraturan pula. 

Djohan dalam bukunya psikologi musik menyebutkan bahwa “musik berfungsi sebagai katalisator atau stimulus timbulnya pengalaman emosiona”. Dengan demikian musik dalam ibadah memiliki peranan yang sangat penting karena membawa emosi manusia untuk memuja Tuhan.

Liturgi gereja sejak awal tidak dapat melepaskan diri dari musik. Musik liturgi, musik gereja termasuk salah satu unsur dan bentuk ungkapan liturgi. Musik memiliki tempat atau kedudukan yang sangat penting dalam liturgi.


Sejarah perkembangan musik gerejawi dibagi dalam beberapa zaman:

a. Zaman Gereja Awal (Abad 1-4)
Gereja berkembang dan semula melanjutkan tradisi Yahudi karena gereja Kristen mula-mula bersifat keyahudian. Dapat diasumsikan bahwa cara yang terdapat dalam kitab-kitab secara liturgis berfungsi untuk merefleksikan liturgi sinagoge sampai taraf tertentu. Dapat diketahui dari kitab Kisah Para Rasul bahwa orang Kristen mula-mula juga pergi ke bait suci dan mentaati doa-doa harian. Perjanjian lama menjadi kitab suci pada saat itu.
Mulai pada zaman perdana ini sudah nampak perbedaan yang disebut dengan musik intelektual dan musik emosional dimana dalam ibadah Gereja perdana dipakai lagu pujian, syukur dan pewartaan. Di samping itu juga cukup banyak disebut pula nyanyian emosional atau nyanyian rohani. Warisan tradisi Yahudi tercampur dengan warisan musik Yunani, bermuara ke musik gregorian. Bentuk mazmur diambil alih dari Perjanjian Lama, dilengkapi dengan antiphon dan dipakai dalam perjamuan Ekaristi. Perjamuan ekaristi ini merupakan suatu suatu tindakan pengudusan yang paling istimewa dari Tuhan kepada orang beriman karena terdapat pengorbanan Tuhan dalam rupa tubuh dan darah Tuhan.
Perkembangan pada zaman ini merupakan suatu tradisi lisan dengan segala konsekuensi: lagu yang semula bersifat improvisasi lama kelamaan terbentuk sebagai lagu tetap; diwariskan dari tempat yang satu ke tempat yang lain sambil disesuaikan dengan selera setempat.

b. Musik abad pertengahan (375-1400)

Musik abad pertengahan biasanya dikaitkan dengan kejatuhan Romawi sebagai pembukaannya. Terdapat dua gaya musik yang ada pada zaman ini seperti drama liturgi, gregorian, tipe sekuensi, kanzone, rondo. Perkembangan lain adalah adanya sekolah-sekolah musik, organum baru, sudah ada notasi musik. Kreativitas di bidang musik liturgi sangat tinggi hingga awal abad ke-7 Paus Gregorius Agung mengadakan seleksi terhadap nyanyian liturgi. Santo Benediktus memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan musik liturgi, khususnya nyanyian ofisi yang memiliki peranan besar dalam biara.
Sampai abad kesepuluh tidak ada notasi sama sekali tentang nyanyian yang dipakai. Perubahan yang paling menentukan selama abad-abad pertengahan adalah bahwa liturgi ibadah menjadi klerikal, umat tidak diikutsertakan karena tidak mengerti bahasa latin. Nyanyian liturgi dibawakan oleh sekelompok rohaniawan di depan altar dengan mutu kesenian yang tinggi. Inilah sebabnya dikembangkan notasi lagu Gregorian di sekitar abad ke 10.
Dalam abad pertengahan musik mendapat suatu kedudukan yang cukup diantara ilmu yang lainnya. Alasannya karena musik berhubungan dengan kosmos sehingga musik mampu membentuk karakter manusia. Musik seni berkembang kearah polifoni. Lagu Gregorian memiliki suatu nilai khusus yang nampak dalam suasana khidmat yang unik.

c. Musik zaman Renaissance (1350-1600)

Musik zaman ini dikenal dengan perkembangan seni di Italia. Musik gereja pada zaman ini ditandai dengan beberapa bentuk; motet, ordinarium missae, madrigal. Perkembangan hidup sosiobudaya terutama di kota-kota dan terutama usaha untuk menggali kekayaan budaya Yunani kuno melahirkan apa yang disebut dengan renaissance.
Sesuai dengan humanisme, musik renaissance berkembang dalam pusat-pusat yang disebut dengan sekolah. Jika musik zaman pertengahan dipandang secara teosentris (berhubungan dengan Allah dan Pencipta-Nya) maka pada zaman renaissance, pandangannya menjadi Antroposentris (berpangkal dari martabat manusia).
Musik gereja dalam zaman renaissance pun dibagi dalam dua kelompok yakni:
1) Musik objektif/tradisional dengan lagu yang ditentukan oleh liturgis secara kultus, di sini segi rasional          menjadi dominan; syair liturgis dinyanyikan termasuk lagu gregoria dan musik polifon dengan cantus          firmus     yang diambil dari sebuah lagu Gregorian.
2) Musik subjektif yakni lagu yang baru dengan bentuk yang baru, musik dalam hal ini mencetuskan syair dalam melodi dan bunyi keseluruhan.

Dengan demikian lahirlah suatu musik gereja baru di mana manusia menjadi penting, komponis dengan ungkapan perasaan subjektif ingin menggerakkan perasaan pendengaran dan penyanyi yang mementaskan sebuah karya musik berusaha untuk menggemakan kembali perasaan sang komponis. Dalam gereja protestan kooral memegang peranan yang utama dimana lagu dinyanyikan oleh jemaat. Kooral pun kadang-kadang berpangkal dari sebuah lagu Gregorian. Dalam zaman renaissance berkembanglah paduan suara dan musik instrumen organ pun berkembang meskipun jumlah karya masih terbatas.

d. Musik Barok (1600-1750)

Musik zaman barok adalah dianggap mewakili zaman yang sangat rumit dalam berbagai hal, mulai dari melodi, bentuk-bentuk musik dan warna musiknya. Bentuk-bentuk musik yang berkembang pada saat itu adalah opera, oratorio, musik kamar dan instrumentalia.
Dalam gereja protestan, choral dinyanyian oleh jemaat dengan satu suara, kadang-kadang bergantian dengan organ. Sejak abad ke-17 choral diiringi dengan organ. Choral disusun juga untuk empat suara dengan gaya homofon dengan suara pokok. Gaya monody dan concerto dari Italia mempengaruhi perkembangan musik Gereja Protestan di Jerman. Komposisi musik umumnya ditulis untuk dipakai secara fleksibel: satu atau beberapa solis, paduan suara atau koor ganda. Kantata dipakai dalam kebaktian hari minggu sebelum atau sesudah kotbah sebagai pewartaan bacaaan Kitab Suci. Bagian kedua dari kantata sering dipakai juga waktu perjamuan.
Di Indonesia, karya J.S Bach dan G.F Handel memang tidak asing untuk koor Gereja. Meski demikian, tak jarang lagu Barok dibawakan seperti lagu Romantik dengan banyak perubahan tempo dan dinamika (crescendo dan decressendo). Dalam hal ini masih perlu dipelajari ciri pembawaan lagu Barok sehingga menambah warna dan dampak khas tersendiri ke dalam gaya musik Gereja Barat.

e. Musik zaman klasik (1750-1820)
Musik klasik adalah karya seni musik yang mengintikan daya ekspresi. Pada zaman klasik ini ditandai dengan bentuk musik seperti opera klasik, opera buffa, oratorio. Musik gereja sangat berkembang pada saat itu. Musik pertengahan abad 18 berkembanglah filsafat pencerahan dimana manusia lewat daya pikirnya mencapai suatu pengertian diri baru yang makin dewasa dan bebas. Maka hancurlah keterikatan dan berkembanglah cita-cita baru seperti martabat manusia dan kemerdekaan. Hal ini nampak dalam deklarasi hak asasi manusia di Amerka tahun 1776, dalam revolusi Prancis 1789 dalam usaha menghentikan sistem budak, dalam keinginan untuk toleransi agama dan dalam sekularisasi.
Gereja mengalami akibat negatif dari keterikatannya pada penguasa. Sebagai reaksi terhadap Barok dengan sikap patetis dan astifisial muncul keinginan ke arah hidup sederhana dan alamiah. Dalam zaman klasik titik beratnya pindah ke musik instrumental, instrumen sebagai iringan musik vokal dan musik instrumental sebagai musik murni instrumental (sonata, simfoni, concer).
Johan Sebastian Bach merupakan tokoh musik yang menjadi puncak dalam sejarah musik gereja Protestan. Maka komponis rohani selama paruh kedua abad ke-18 mau tidak mau nampak merosot dari ketinggian zaman Bach. Musik ibadat itu berhubungan erat dengan pembaharuan liturgi yang bertujuan untuk menciptakan Gereja dan ibadat yang lebih sesuai dengan kebutuhan manusia. Maka musik mendapat fungsi sebagai sarana saja, bukan lagi sebagai bagian dari liturgi sendiri. Musik bertujuan untuk menimbulkan suasana khidmat. Dalam zaman karya musik rohani pindah dari gereja ke gedung konser; bahwa karya musik gereja disesuaikan dengan tuntutan zaman dengan mengutamakan yang gampang saja. Nyanyian jemaat di kesampingkan dan diganti dengan nyanyian devosional sesuai dengan kebutuhan perorangan, bukan kebutuhan bersama sebagai jemaat.
Di Indonesia musik gereja klasik dengan iringan orkes simfoni merupakan suatu masalah tersendiri. Hal ini dapat dilihat karya misa orkestra klasik di zaman sekarang tidak begitu saja dapat dipakai dalam ibadah. Lagu-lagu yang dapat dimainkan tanpa iringan orchestra seperti lagu Ave verum, Laudate, Exultate Jubilate. Tanpa iringan orkestra pun dapat dipakai waktu komuni atau sebagai selingan pada hari raya. Lagu seperti ini sangat terbatas digunakan dalam ibadah.

f. Musik zaman Romantik (1800-1900)
Musik gereja pada zaman ini sangat berkembang di Wina. Dalam tradisi Katolik terdapat musik gereja, gerakan Cecilianis dan musik devosional. Sedangkan pada Protestan terdapat nyanyian jemaat, musik gerejawi, paduan suara yang dimainkan dengan alat musik yang digunakan seperti organ dan piano. Abad ke-19 adalah sangat kaya dengan tren perkembangan dan peristiwa yang sangat aneka bahkan perlawanan satu sama lain. Gereja abad ke-19 mengalami banyak kesulitan berhubungan dengan sekularisasi, karena musik menjadi lumpuh dan dipaksa memikirkan peranannya dalam bidang rohani.
Kesenian dalam musik ditanggung oleh instansi masyarakat, namun pada tingkat yang sangat berbeda-beda. Di samping pentas di gedung konser, gedung opera dan Gereja musik juga dipentaskan di tempat terbuka dan di rumah sebagai hiburan. Keterampilan teknik permainan piano/ biola menjadi dangkal karena tujuannya terutama demi ketenaran semata.
Musik gereja Protestan pun mengalami kesulitan abad ke-19. Rasionalisme menimbulkan keinginan anti geraja, terbukalah suatu jurang antara musik seni dan musik gereja karena hidup gereja semakin terjadi pada pinggir masyarakat. Pada abad 19 berkembanglah nyanyian ibadat. Di samping gerakan historis yang begitu luaa, maka ciptaaan karya musik Gereja baru hanya sedikit yang dihasilkan. Karya yang dihasilkan terutama berupa motet-motet dan karya musik instrumen organ.
F. Mandelssohn (1809-1847) mengarang sejumlah motet yang sering dipakai sampai sekarang. Selain itu dalam Simfoni No.5 Reformationssinfonie pun terdapat musik vokal; bagian terakhir merupakan suatu fantasi kooral. Paduan suara pun mengalami suatu perubahan dalam abad 19. Maka dimana-mana pada abad 19 dibentuk koor gereja terdiri dari siswa dan guru sekolah dan dari anggota jemaat. Tentu kemampuan koor Gereja sangat terbatas karena saingannya adalah paduan suara professional serta koor pria yang jumlahnya sangat banyak pada abad 19. Meskipun demikian dalam paruh kedua abad 19 terbentuklah organisasi koor Gereja namun tugasnya tidak terbatas pada ibadat, mereka juga mengadakan pentas umum.

g. Musik zaman abad ke-20
Musik pada zaman ini tampak pada nyanyian jemaat dan memiliki dua hal yang menonjol yaitu keagungan Tuhan, kemuliaan dalam ajaran Trinitas dan mengandung pesan terhadap kesalehan manusia. Musik pada zaman ini dikatakan sebagai abad mendatangkan perubahan, juga dalam dunia musik misalnya musik serial dan atonal. Pembaharuan dalam musik gereja abad ke-20 diawali dengan suatu dokumen dari roma, yakni Motu proprio Paus Pius X tahun 1903 yang cukup banyak menentukan perkembangan seterusnya.
Dalam dokumen ini untuk pertama kali dikatakan bahwa musik gereja merupakan bagian hakiki dari liturgi artinya tanpa unsur duniawi. Langkah ini disambung oleh gerakan liturgi yang mulai pada tahun 30-an. Dengan demikian sifat sakral dari musik Gereja mendapat suatu ketentuan baru dimana musik itu suci karena sebagai bagian integral dalam liturgi.

5 komentar: