Kamis, 19 Juni 2014

SISTEM DEMOKRASI VERSI BATAK (Suatu Kajian Falsafah Batak Toba Dalam Dalihan Na Tolu)

Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Masyarakat Batak Toba secara tradional mendiami hampir seluruh wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Utara.  Ditinjau dari letak geografisnya, wilayah kediaman masyarakat Batak Toba diapit oleh kelompok-kelompok etnis Batak lainnya, yakni kelompok masyarakat Pak-pak, Simalungun, dan Karo di sebelah barat laut hingga timur laut dan kelompk masyarakat Mandailing dan Angkola di sebelah tenggara hingga barat daya. Jika dilihat dari letak kediamannya, masyarakat Batak Toba Persis berada di tengah wilayah etnis Batak yang lainnya.
Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba secara tradisional diatur dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan Na Tolu.  Dalihan Natolu sebagai sistem kekerabatan orang batak ternyata mempunyai nilai yang tidak kalah dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat.

A.      Asal Mula Dalihan Na Tolu
Menurut mitologi Batak Toba asal mula dari Dalihan Na Tolu adalah: di suatu daerah dikenal seorang raja yaitu Raja Panggana. Dia dikenal pandai memahat dan mengukir. Untuk memenuhi biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Dalam kehidupannya sehari-hari dia merasa gelisah akan hidupnya dan memutuskan untuk mengasingkan diri ke suatu tempat yang sunyi. Dalam perjalanannya, dia tertarik dengan salah satu pohon yang ada di hutan tersebut. Dia memperhatikan dahan pohon tersebut seolah-olah itu menari. Kemudian dia tertarik untuk memahat pohon itu menjadi patung putri yang bisa menari. Dia pun merasa senang dan kegelisahannya pun hilang. Sang Raja merasa sangat gembira dan menari sepanjang hari bersama putri yang diciptakaanya dari sebatang kayu. Karena persediaan makannya telah habis, dia memutuskan untuk kembali ke kota dan berharap akan kembali lagi ke hutan untuk menari dengan putri ciptaannya tesebut.
Beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Pria itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari putri tersebut. Kemudian dia memeberi pakaian dan perhiasan kepada patung itu dan dia pun merasa semakin senang. Menarilah dia dengan sangat puas dengan patung tersebut, setelah puas menari, dia berusaha untuk membawa patung putri itu dengannya tetapi tidak bisa karena hari sudah malam. Kemudian dia pun pergi dengan meninggalkan pakaian dan perhiasan masih melekat pada patung putri tersebut. 
Kemudian seorang dukun berjalan ke arah hutan dan menemukan patung putri tersebut. Datu Partawar demikian nama dukun tersebut terpesona melihat patung putri tersebut. Kemudian dia berpikir untuk menghidupkan patung putri tersebut. Dengan tekad yang ada padanya, Datu Partawar menyembah menengadah ke atas dengan mantra, kemudian datanglah seorang putri yang cantik memegang tangannya dan mencium keningnya sehingga patung tersebut hidup. Kamudian putri itu memberi nama patung itu Nainmanggale.
Cerita kecantikan putri tersebut tersebar sampai ke seluruh daerah termasuk kepada Raja Panggana dan Pria penjual pakaian serta perhiasan tersebut. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat putri tersebut dan kemudian dia teringat akan patung yang telah dipahatnya tersebut. Demikian pula penjual pakaian tersebut, heran melihan kain dan perhiasan yang dipakai oleh sang putri, ia mendekati putri tersebut dan berusahan meminta kain dan perhiasan. Karena tidak dapat dibuka, pria itu menyatakan bahwa putri itu adalah miliknya. Raja Panggana menolak karena dia berpendapat bahwa dialah yang memahat putri tersebut. Seketika itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa putri itu adalah miliknya karena dia yang memberikan nyawa kepada sang putri. Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusannya.
Kemudian mereka menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin dan menetapkan tiga keputusan untuk mereka yaitu:
a.       Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah dia menjadi ayah dari Putri Nainmanggale yang disebut dengan Suhut.
b.      Karena Baoa Partigatiga (Pria penjual baju dan perhiasan) yang memberikan pakaian dan perhiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale yang disebut dengan Boru.
c.       Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah dia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale yang disebut dengan Hula-hula.

Mereka bertiga setuju dengan keputusan ini dan sejak itu mereka membuat sebuah perjanjian mereka sepakati dengan:
a.       Bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale, Raja Panggana, Baoa Partiga-tiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
b.      Bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.

Demikian Legenda Putri Naimanggale yang menggambarkan asal muasal dari Dalihan Na Tolu di dalam kekerabatan Batak. Dari cerita tersebut bahwa hakikat Dalihan Na Tolu adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi.

B.       Pengetian Dalihan Na Tolu
    Dalihan Na Tolu jika diartikan secara hurufiah adalah “Dalihan” artinya sebuah tungku yang terbuat dari batu, sedangkan “Dalihan Na Tolu” ialah tungku tempat memasalah yang diletakkan diatas dari tiga batu. Ketiga dalihan yang dibuat berfungsi sebagai tempat tungku wadah memasak diatasnya. Dalihan yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau ditanam ditanah serta jaraknya seimbang antara satu batu dengan yang lain. Tingginya sama agar dalihan yang diletakkan tidak miring dan menyebabkan isinya dapat tumpah.
Falsafah Dalihan Na Tolu dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagaian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak diatas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang terdapat ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa batak benda yang digunakan untuk mengganjal adalah sihal-sihal. Istilah Dalihan Na Tolu tersebut menjadi Dalihan Na Tolu Paopat sihal-sihal.

C.      Dalihan Na Tolu Sumber Hukum Adat Batak

Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba disebut Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu  tersebut adalah Somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru. Hula-hula adalah pihak keluarga pemberi istri, anak boru merupakan pihak keluarga penerima istri dan dongan tubu adalah sesama saudara laki-laki dari rahim ibu yang sama.
 1.        Somba Marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain: Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
 Dalam adat Batak, pihak boru-lah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hula-nya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hula-nya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula.

2.        Manat Mardongan Tubu
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri
Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya.

3.        Elek Marboru
Boru adalah kelompok orang dari saudara perempuan. Dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari sering didengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat. Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat karena saat itu dia sebagai boru.
Pandangan dan sikap terhadap anak boru juga merupakan hal yang penting di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Anak Boru dianggap pihak yang selalu berperan di dalam keberlangsungan berbagai pekerjaan. Tanpa kehadiran anak boru, sebuah upacara tidak akan dapat dilaksanakan. Walaupun demikian, anak boru merupakan pihak yang harus diberi perlindungan, perhatian dan dijaga perasaannya oleh hula-hula.

D.       Kesimpulan
Hingga saat ini, sikap dan perilaku sosial semacam ini tidak hanya berlaku bagi orang Batak Toba yang tinggal di pedesaan, tetapi juga berlaku bagi mereka yang telah tinggal di perkotaan. Dengan kata lain, sangat penting bagi seorang Batak Toba untuk memahami dan mengetahui garis keturunan yang tercermin dalam berbagai hubungan marga. Hal ini penting tidak hanya untuk posisi sosial dari masing-masing pihak yang berkenalan, tetapi juga untuk mengetahui asal-usul mereka masing masing

Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal. Menghargai budaya bukan berarti kita meninggalkan modernisasi, karena budaya sudah menjadi ciri khas bangsa kita.