Kamis, 17 Juli 2014

Metode Pembelajaran

I. Kedudukan Metode Dalam Mengajar
   1. Metode Sebagai Alat Motivasi Ekstrinsik
   2. Metode Sebagai Strategi Pengajaran
   3. Metode Sebagai Alat untuk mencapai Tujuan

II. Macam-Macam Metode Mengajar
1. Metode Proyek
Metode ini merupakan cara penyajian pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari berbagai segi yang berhubungan sehingga pemecahaanya secara keseluruhan
2. Metode Ekperimen
Metode ekperimen adalah cara penyajian dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari
3. Metode Penugasan
Metode Penugasan merupakan metode penyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu agar   siswa melakukan kegiatan belajar
4. Metode Diskusi
Metode diskusi merupakan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan kepada suatu masalah           yang bisa berupa pertanyaan atau penyataan yang bersifat probematis untuk dibahas atau dipecahkan bersama
5. Metode Demonstrasi
Metode demontrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari
6. Metode Karyawisata
Metode ini adalah cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajar siswa ke suatu tempat atau objek tertentu di luar sekolah untuk mempelajari/ menyelidiki sesuatu 
7. Metode Tanya Jawab
Metode ini merupakan cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab terutama   dari guru kepada siswa, bisa juga siswa kepada guru
8. Metode Latihan
Metode ini merupakan suatu cara mengajar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu seperti  ketangkasan, ketepatan dan keterampilan
9. Metode Ceramah
Metode ini merupakan cara penyajian sebagai komunikasi lisan antara guru dan anak didik dalam proses belajar mengajar

Efarina, 17 Juli 2014


Kamis, 10 Juli 2014

MUSIK GONDANG PADA UPACARA ADAT BATAK (Kajian Peranan, Kedudukan Musik dan Fungsi Musik pada Tortor Batak)

A.      PENDAHULUAN
Musik memiliki peranan yang sangat penting pada upacara adat. Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah Suku Batak dimana dalam upacara adat istiadatnya, musik mempunyai bagian yang penting dan dianggap sakral.  Kawasan tanah Batak terletak di Pulau Sumatera dan secara administratif  kawasan ini masuk dalam wilayah Sumatra Utara. Pada awalnya kawasan tanah Batak mencakup keseluruhan daerah yang dinamakan dengan Tapanuli, yaitu daerah Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah, serta ada tiga daerah lainnya yaitu daerah Simalungun, Pakpak Dairi, dan Karo.  Akan tetapi belakangan ini muncul suatu kesan bahwa yang disebut dengan tanah Batak hanyalah daerah Batak Toba atau Tapanuli Utara, sedangkan yang lainya seolah-olah tidak termasuk lagi kedalam kawasan Tanah Batak Toba.
Pada zaman Sisingamangaraja, kawasan  Tanah Batak Toba terdiri dari empat daerah yaitu Samosir, Toba Holbung, Humbang, dan Silindung. Setelah Indonesia merdeka, pengadministrasian keseluruhan Indonesia mulai dibenahi tak terkecuali daerah Batak Toba. Daerah dibuat menjadi sebuah kabupaten yaitu kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukota Tarutung.Tentang asal usul hingga kini masih belum dapat dipastikan oleh para sejarawan maupun para antropolog. Banyak pendapat tentang asal usul suku Batak ini namun memiliki pendapat yang berbeda-beda. Timbulnya perbedaan ini dikarenakan belum adanya peninggalan sejarah yang dapat dijadikan sebagai bukti untuk memastikan asal usul suku Batak ini. Di samping itu ada sebagian orang Batak yang berpegang kepada Mitologi yang menceritakan tentang asal-usul suku Batak.
Menurut kajian sejarah dan antropologi, suku Batak adalah salah satu suku bangsa yang termasuk dalam rumpun melayu atau Indonesia tua dan mungkin juga menjadi yang tertua di Sumatera khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Namun ada juga sebagian berpendapat bahwa orang Batak sudah berada di tanah Batak sejak 800 sampai 1000 tahun yang lalu. Suku Batak terbagi kepada enam subsuku yaitu Batak Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Pakpak, dan Karo. Keenam dari suku ini sama-sama mengakui bahwa mereka adalah keturunan Si Raja Batak atau Nenek moyang orang Batak.
Asal-usul suku Batak dilihat dari kajian menurut mitologi Batak, suku ini adalah sebuah suku yang kaya akan mitos baik tentang Tuhan, dewa-dewa maupun tentang penciptaan bumi, manusia dan tumbuh-tumbuhan. Semua mitos ini sejak dahulu diceritakan dari mulut ke mulut atau melalui lisan oleh orang tua yang paham akan hal itu kepada orang yang lebih muda atau anak-anak. Menurut mitologi Batak bahwa asal mula suku Batak tepatnya dari suatu daerah yang bernama pusuk buhit, sebuah gunung yang terletak di pinggiran sebelah barat Pulau Samosir. Pulau ini berada di tengah-tengah Danau Toba yang kini terkenal sebagai tujuan wisata. Dalam Mitologi Batak bahwa yang pertama ialah Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Ihat Manisia. Sepasang putra-putri ini adalah hasil perkawinan antara Si Boru Deakparujar dengan Raja Odap-odap. Dengan demikian asal usul suku Batak dapat dilihat dari kajian antropologi dan mitologi. Kedua kajian tersebut memiliki dasar yang berbeda dan tidak dapat disandingkan dengan logika ataupun dengan kepercayaan dari suku Batak ini.
Dalam konteks kehidupan tradisional masyarakat Batak Toba, kegiatan bermain musik merupakan sesuatu yang menonjol. Berbagai kegiatan musik dapat dilihat dari dua konteks kegunaan yakni; kegiatan musik yang dilakukan untuk sesuatu yang sifatnya hiburan dan kegiatan pertunjukan musik yang dilakukan dengan konteks adat dan ritual agama. Aktivitas musik yang bersifat hiburan umumnya ditampilkan dalam bentuk nyanyian atau permainan alat musik tunggal tetapi yang bersifat seremonial umumnya dimainkan dalam bentuk ansambel.
Salah satu komponen penting dalam setiap upacara Batak adalah membunyikan gondang (gendang). Gendang merupakan alat musik tradisional suku Bangsa Batak. Gendang ini wajib dibunyikan pada waktu upacara adat berlangsung. Ditinjau dari segi penggunaannya, gendang dapat dibagi kepada dua kelompok yaitu gondang sabangunan (gendang lengkap) dan gondang hasapi (gendang hasapi).
Membunyikan gendang dalam upacara agama bukanlah hanya sekedar saja, melainkan mempunyai makna yang tersendiri dalam keseluruhan prosesi upacara adat. Ada dua hal yang penting dalam gondang sabangunan ini yaitu pargonsi dan pangintaran  yang akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya. 

B.       Peranan Musik Gondang dalam Upacara Batak
Musik pada masyarakat Batak Toba merupakan hal yang sangat penting. Dapat dikatakan bahwa tidak ada sebuah bentuk upacara yang tidak melibatkan ensambel musik Batak. Di masyarakat Batak Toba terdapat dua jenis ensambel musik yang penting yakni gondang hasapi dan gondang sabangunan. Kedua ansambel musik ini selalu menjadi bagian dari aktivitas upacara ritual dan adat. Gondang pada umumnya mengiringi tarian sosial (tor-tor). Di dalam melakukan tarian bersama, salah seorang penari biasanya bertindak sebagai pemimpin kelompok penari, sekaligus sebagai orang yang bertugas untuk meminta lagu.
Peranan ansambel musik gondang ini dapat ditemukan di berbagai upacara lainnya. Ensambel godang sabangunan digunakan pada upacara mangongkal holi, pasiarhon junjungan, gondang saem, mangalat horbo lae-lae, dan pesta tugu. Upacara mangongkal holi merupakan upacara penggalian tulang belulang orang tua yang sudah meninggal dan menempatkannya di suatu tempat tertentu. Upacara pasiarhon junjungan merupakan upacara pemanggilan roh nenek moyang dan masih dipergunakan oleh agama malim. Upacara gondang saem adalah upacara untuk penyembuhan. Dalam upacara pernikahan, gondang sabangunan ini masih banyak dijumpai di berbagai upacara adat Batak.
Hal yang sering digunakan dalam upacara adat adalah gondang sabangunan dibanding dengan gondang hasapiGondang hasapi ini umumnya dimainkan pada pertunjukan-pertunjukan ritual yang diadakan di dalam ruangan atau rumah.

C.      Pembagian Musik Gondang dalam Adat Batak
Di dalam masyarakat Batak Toba dikenal dua jenis ensambel musik yaitu gondang hasapi dan gondang sabangunan. Tiap ensambel memiliki alat-alat musik tersendiri kecuali alat musik hesek. Alat-alat musik yang terdapat pada ensambel gondang hasapi tidak dimainkan dalam ensambel gondang sabangunan, demikian pula sebaliknya.
1.        Musik Gondang Hasapi
Musik gondang hasapi dianggap sebagi bentuk ensambel musik yang kecil, dimana penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup. Musik ini biasanya dimainkan oleh lima orang atau lebih. Dalam konteks perkembangannya, gondang hasapi kadangkala diperluas dengan alat musik sulim, yaitu sejenis suling bambu yang secara tradisional dipergunakan dalam konteks hiburan pribadi.
Pembagian Gondang Hasapi terdiri dari:
a.        Sarune etek, sejenis alat tiup berlidah tunggal
b.       Hasapi Ende, atau sering disebut hasapi taganing yaitu lute berleher pendek yang dipetik dan memiliki dua buah senar.
c.       Hasapi doal, alat ini sama bentuknya dengan hasapi ende, perbedaannya hanya terletak pada peranan musikalnya.
d.        Garantung, sejenis xylophone yaitu alat musik berbilah yang terbuat dari kayu
e.         Hesek, semacam alat perkusi dari plat besi atau botol kaca.

2.        Musik Gondang Sabangunan
Ensambel gondang sabangunan sering disebut dengan gondang bolon. Kata bolon berarti besar, dengan demikian gondang bolon berarti ensambel musik yang besar. Pertunjukan gondang sabangunan sering dilakukan di halaman terbuka, walaupun dapat juga dimainkan di dalam ruangan.
Gondang sabangunan pada umumnya dimainkan oleh tujuh orang, yakni satu orang memainkan sarune bolon, taganing, odap, gondang bolon, ogung oloan, ihutan, ogung doal, ogung panggora dan satu orang lainya memainkan hesek
Ensambel gondang sabangunan terdiri dari:
a.         Sarune bolon, jenis alat tiup berlidah ganda
Sarune Bolon adalah sejenis alat musik tiup yang berlidah ganda, seperti oboe dalam musik barat. Dalam bahasa batak toba, bolon berarti besar. Jadi Sarune Bolon  artinya sarune yang besar. Panjang bagian batang sarune lebih kurang 46,5 cm. Sarune bolon  memiliki bagian-bagian lain yang terpisah seperti ipit-ipit, ambong-ambing, dan anggar-anggar. Ipit-ipit adalah bagian lidah dari Sarune Bolon.
b.         Taganing
Taganing adalah sejenis alat musik gendang yang tergolong pada kategori gendang rak bernada. Taganing terdiri dari lima buah gendang yang kadang-kadang berbentuk tabung melengkung atau tabung lurus. Seperangkat gendang bernada bermuka satu, yang terdiri dari odap-odap, paidua odap, painonga, paidua ting-ting, dan ting-ting 
c.    Gordang bolon
Gendang-bas bermuka satu yang lebih besar dan lebih rendah. Gordang bolon merupakan jenis gendang yang sama dengan taganing, namun memiliki ukuran yang lebih besar. Disamping ukurannya yang lebih besar, Gordang juga tidak dilaras mengacu pada nada-nada tertentu.
d.   Ogung
Empat buah gong dengan ukuran yang berbeda, ihutan, doal, oloan dan panggora. Ogung merupakan seperangkat alat musik gong berpencu yang terdiri dari empat buah.
e.    Hesek, alat perkusi dari plat besi, botol atau benda perkusi apa saja yang bisa menghasilkan bunyi yang tajam
f.     Odap, sejenis gendang kecil yang bermuka dua.
Penggunaan odap dalam ensambel gondang sabangunan sangat jarang ditemukan saat ini. Alat ini hanya dipakai dalam upacara-upacara tertentu dan saat ini ditemukan dalam ritual si pahala lima yang dilakukan oleh kelompok kepercayaan parmalim.
Dalam Batak Toba, pembagian peranan filosofis dari masing-masing alat musik pada ensambel gondang sabangunan merupakan hal khusus yang tidak ditemukan pada gondang hasapi. Setiap alat musik dalam ensambel gondang sabangunan memiliki falsafah tertentu. Hubungan antara konsep falsafah dan pembagiaan peranan musikal tiap-tiap alat tercermin dalam konteks permainan musik yaitu:
1)   Peranan alat musik yang mutlak sebagai pembawa melodi pada dasarnya adalah sarune bolon.  Bunyi sarune bolon dianalogikan dengan suara orang yang sedang berkata-kata.
2)  Taganing kadang-kadang bisa bermain mengikuti melodi sarune bolon secara heterofonis atau hanya memberikan aksentuasi ritmis pada garis melodi yang dimainkan sarune bolon.. Bunyi taganing dianalogikan dengan suara orang yang sedang bersungut-sungut, dimana kata-katanya umumnya terdengar kurang jelas.
3) Bunyi ogung berfungsi sebagau pemberi aksentuasi dan penentu siklus yang dianalogikan seperti suara yang bergema.
Ensambel gondang sabangunan juga sering disebut gondang bolon. Kata bolon berarti besar, dengan demikian gondang bolon berarti ensambel yang besar. Pertunjukan gondang sabangunan sering dilakukan di halaman terbuka, walaupun dapat juga dimainkan di dalam ruangan.

D.      Fungsi Gondang Sabangunan dalam Tortor (Tarian Batak Toba)
Arti tortor dalam bahasa batak berarti tarian, tetapi bentuk tarian disini adalah tarian khas batak. Tortor ini termasuk bagian penting dalam upacara adat terutama upacara yang menggunakan persembahan gendang. Tidak ada tortor kalau tidak ada gendang demikian juga sebaliknya bahwa tidak ada gendang kalau tidak ada persembahan tortor.
Tortor itu sendiri dalam upacara adat sama dengan gendang yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan niat dan suara hati kepada tuhan. Dari gerak tortor itu akan tergambar bagaimana suasana hati seseorang. Jika keadaan jiwanya penuh dengan kesusahan, jelas akan Nampak dalam lakon tortor itu kurang bergairah dan musik yang dimainkan juga terasa tidak bergairah.  Berbeda dengan orang yang tampak gerak tortornya sangat bergairah dan menunjukkan sikap bergairah itu bermakna bahwa orang yang bersangkutan telah mempersiapkan diri secara fisik dan mental.
Dalam setiap manortor (menari) tentu harus berdiri dan tidak ada manortor yang pelaksanaannya duduk. Meskipun ada orang yang menggerakkan badannya pada saat seseorang manortor, gerakan itu bukan disebut manortor melainkan mantea yaitu gerakan hanya menggerakkan sepuluh jarinya. Maksudnya adalah untuk memberikan perhatian kepada orang yang sedang menari dan supaya terlihat lebih sempurna. Dalam hal ini gondang sabangunan memiliki peranan penting dalam tarian tortor Batak Toba. 

Rabu, 09 Juli 2014

INKULTURASI MUSIK GEREJA

Istilah inkulturasi dipakai oleh Magisterium Gereja dan mendefinisikannya yaitu penjelmaan injil di dalam kebudayaan pribumi dan masuknya kebudayaan dalam hidup Gereja. Inkulturasi berarti perubahan batin dari nilai-nilai budaya pribumi melalui pengintegrasian nilai tersebut ke dalam agama Kristen serta melalui penanaman agama Kristen di dalam pelbagai kebudaya 
Istilah inkulturasi muncul dengan berpangkal dari konsep antropologi enkulturasi (penyesuaian diri seorang pribadi manusia ke dalam suatu budaya tertertu, agar menjadi bagian budaya itu) dan akulturasi(perjumpaan antar budaya dan penerimaan unsur-unsur budaya dari suatu budaya asing). Inkulturasi menunjuk suatu proses permanen, dimana Injul diungkapkan ke dalam suatu Sosio-politik dan religious-kultural sehingga injil itu tidak hanya terungkapkan melalui unsur-unsur situasi itu melainkan Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengilhami, membentuk dan merubah atau mentranformasikan situasi tersebut.
Untuk memahami dan mengerti secara lebih mendalam tentang inkulturasi, sudah ada beberapa pakar yang berusaha merumuskan mengenai  inkulturasi, antara lain "Inkulturasi Gerejani adalah integrasi pengalaman gereja lokal ke dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakatnya sedemikian rupa, sehingga pengalaman itu tidak hanya mengungkapkan diri melalui unsur-unsur kebudayaannya sendiri, bahkan  menjadi kekuatan yang menyemangati, mengarahkan dan memperbaharui kebudayaan tersebut sehingga menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja dalam kebudayaan yang bersangkutan, tetapi juga sebagai sesuatu yang memperkaya gereja" (A. Roest Crollius S.J)
Prier (1995:5) menyebutkan bahwa tahap-tahap inkulturasi dibagi dalam beberapa tahap:
a.    Tahap terjemahan; syair lagu dari bahasa asing diterjemahkan dalam bahasa indonesia dan atau bahasa daerah dengan dipertanyakanya lagu asli. Pada tahap ini proses inkulturasi belum dimulai; terjemahan hanya merupakan suatu pendahuluan untuk inkulturasi.
b.      Tahap perpindahan ; sebuah lagu daerah diambil alih begitu saja dengan diganti syairnya. Usaha ini baik namun hasilnya kurang baik. Malah dapat menimbulkan banyak kesulitan karena fungsi benda kebudayaan yang dipindah itu tetap sama seperti semula sehingga terjadi perpindahan lahiriah saja.
c.    Tahap penyesuaian; Dalam tahap ini unsur kebudayaan disesuaikan dengan tempat/ perana baru dalam ibadah; ia mengalami suatu perubahan. Dalam tahap ini fungsi asli unsur kebudayaan ikut dipikirkan dan dicarikan fungsi yang sesuai dalam ibadah.
d.  Tahap kreasi baru; Dalam tahap ini suatu unsur kebudayaan tidak diambil alih atau disesuaikan, tetapi diciptakan suatu unsur baru khusus untuk ibadah berdasarkan kebudayaan setempat.

Untuk melaksanakan inkulturasi secara baik harus selektif karena, tidak semua unsur budaya dipakai dalam liturgi. Semua yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan inkulturasi dapat menentukan unsur-unsur yang menjadi bagian dari kebudayaan dapat diangkat ke dalam liturgi agar tidak membahayakan dengan menimbulkan akibat negatif terhadap iman dan devosi kepada  Tuhan. Maka perlu juga adanya sikap luwes atau fleksibel yaitu dialog dan kerja sama yang baik dengan umat setempat dalam mengusahakan inkulturasi. Harus disadari pula bahwa inkulturasi dilaksanakan secara cermat dan bertahap

SEJARAH MUSIK GEREJAWI

Musik gerejawi adalah musik yang berkembang di kalangan Kristen terutama dilihat dari penggunaannya dalam ibadah gereja. Musik gerejawi dapat juga disebut sebagai ungkapan isi hati orang percaya (Kristen) yang diungkapkan dalam bunyi-bunyian yang bernada dan berirama secara harmonis, antara lain dalam bentuk lagu dan nyanyian. Sama dengan musik secara umum, dua unsur; vokal dan instrumental harus diperhatikan, dan terkhusus dalam bermusik di gereja yang sarat dengan makna teologis dan berkenaan dengan iman umat. Hal ini sangat penting untuk disajikan secara tepat agar umat mampu menghayati imannya dengan bantuan musik.
Prier (1998;14) mengatakan bahwa : “Istilah musik gereja secara harafiah berarti musik yang dipakai dalam gereja atau musik khusus dari umat sebagai suatu persekutuan gereja, namun secara khusus yang dimaksudkan adalah musik ibadah.” Musik gereja sebagai istilah umum dibagi antara musik liturgi yakni musik yang diciptakan dan dipakai khusus dalam ibadah dan musik rohani yakni musik yang diciptakan dan dipakai di luar ibadah.

Musik gereja dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Prier (1998:15) mengatakan bahwa :

Musik gereja dapat dikatakan sebagai musik seni, yakni musik yang bermutu tinggi dengan menimba dari kesenian suatu zaman dan musik praktis, yakni musik yang diciptakan terutama untuk dipakai dalam prefasi, aklamasi dan sebagainya

Terlepas dari perilaku penyanyinya, musik rohani adalah musik yang mengandung nilai-nilai ibadah, musik rohani adalah musik gereja dimana musik gereja adalah musik yang dipakai saat beribadah di gereja. Tujuan dari musik gereja adalah meninggikan dan mengagungkan Tuhan.
Dengan kata lain musik gereja sebagai istilah umum dibagi menjadi dua yaitu:
a. Musik liturgi yakni musik yang diciptakan dan dipakai khusus dalam ibadah dimana musik   merupakan bagian integral dalam liturgi.
b. Musik rohani yakni musik yang diciptakan dan dipakai di luar ibadah.
Selanjutnya Prier (1998:15) menyebutkan bahwa:
Di dalam musik gereja terdapat dua unsur yang terkandung di dalamnya yakni unsur rasional atau intelektual yakni untuk menyampaikan suatu pesan yang membawa makna dan arti tertentu dan unsur emosional atau segi musikal yang selalu melebihi peranan liturgi kearah apresiasi dan seni; ingin dinikmati dan dengan demikian juga merupakan suatu godaan untuk melepaskan diri dari tujuan tadi. Musik mengandung empat hal penting yaitu pitch, dynamic, tone color dan duration. Keempat hal tersebut merupakan satu kesatuan sehingga salah satu unsur tersebut tidak bisa berdiri sendiri. 

Saragih (2008:4) menyebutkan bahwa: “Musik dapat mempengaruhi jiwa dan emosi pendengarnya terlepas dari bentuk musik yang dimainkan itu”. Irama dengan tekanan nada yang beraturan cenderung mempengaruhi ritem psiko-fisik seseorang sehingga menjadi beraturan pula. 

Djohan dalam bukunya psikologi musik menyebutkan bahwa “musik berfungsi sebagai katalisator atau stimulus timbulnya pengalaman emosiona”. Dengan demikian musik dalam ibadah memiliki peranan yang sangat penting karena membawa emosi manusia untuk memuja Tuhan.

Liturgi gereja sejak awal tidak dapat melepaskan diri dari musik. Musik liturgi, musik gereja termasuk salah satu unsur dan bentuk ungkapan liturgi. Musik memiliki tempat atau kedudukan yang sangat penting dalam liturgi.


Sejarah perkembangan musik gerejawi dibagi dalam beberapa zaman:

a. Zaman Gereja Awal (Abad 1-4)
Gereja berkembang dan semula melanjutkan tradisi Yahudi karena gereja Kristen mula-mula bersifat keyahudian. Dapat diasumsikan bahwa cara yang terdapat dalam kitab-kitab secara liturgis berfungsi untuk merefleksikan liturgi sinagoge sampai taraf tertentu. Dapat diketahui dari kitab Kisah Para Rasul bahwa orang Kristen mula-mula juga pergi ke bait suci dan mentaati doa-doa harian. Perjanjian lama menjadi kitab suci pada saat itu.
Mulai pada zaman perdana ini sudah nampak perbedaan yang disebut dengan musik intelektual dan musik emosional dimana dalam ibadah Gereja perdana dipakai lagu pujian, syukur dan pewartaan. Di samping itu juga cukup banyak disebut pula nyanyian emosional atau nyanyian rohani. Warisan tradisi Yahudi tercampur dengan warisan musik Yunani, bermuara ke musik gregorian. Bentuk mazmur diambil alih dari Perjanjian Lama, dilengkapi dengan antiphon dan dipakai dalam perjamuan Ekaristi. Perjamuan ekaristi ini merupakan suatu suatu tindakan pengudusan yang paling istimewa dari Tuhan kepada orang beriman karena terdapat pengorbanan Tuhan dalam rupa tubuh dan darah Tuhan.
Perkembangan pada zaman ini merupakan suatu tradisi lisan dengan segala konsekuensi: lagu yang semula bersifat improvisasi lama kelamaan terbentuk sebagai lagu tetap; diwariskan dari tempat yang satu ke tempat yang lain sambil disesuaikan dengan selera setempat.

b. Musik abad pertengahan (375-1400)

Musik abad pertengahan biasanya dikaitkan dengan kejatuhan Romawi sebagai pembukaannya. Terdapat dua gaya musik yang ada pada zaman ini seperti drama liturgi, gregorian, tipe sekuensi, kanzone, rondo. Perkembangan lain adalah adanya sekolah-sekolah musik, organum baru, sudah ada notasi musik. Kreativitas di bidang musik liturgi sangat tinggi hingga awal abad ke-7 Paus Gregorius Agung mengadakan seleksi terhadap nyanyian liturgi. Santo Benediktus memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan musik liturgi, khususnya nyanyian ofisi yang memiliki peranan besar dalam biara.
Sampai abad kesepuluh tidak ada notasi sama sekali tentang nyanyian yang dipakai. Perubahan yang paling menentukan selama abad-abad pertengahan adalah bahwa liturgi ibadah menjadi klerikal, umat tidak diikutsertakan karena tidak mengerti bahasa latin. Nyanyian liturgi dibawakan oleh sekelompok rohaniawan di depan altar dengan mutu kesenian yang tinggi. Inilah sebabnya dikembangkan notasi lagu Gregorian di sekitar abad ke 10.
Dalam abad pertengahan musik mendapat suatu kedudukan yang cukup diantara ilmu yang lainnya. Alasannya karena musik berhubungan dengan kosmos sehingga musik mampu membentuk karakter manusia. Musik seni berkembang kearah polifoni. Lagu Gregorian memiliki suatu nilai khusus yang nampak dalam suasana khidmat yang unik.

c. Musik zaman Renaissance (1350-1600)

Musik zaman ini dikenal dengan perkembangan seni di Italia. Musik gereja pada zaman ini ditandai dengan beberapa bentuk; motet, ordinarium missae, madrigal. Perkembangan hidup sosiobudaya terutama di kota-kota dan terutama usaha untuk menggali kekayaan budaya Yunani kuno melahirkan apa yang disebut dengan renaissance.
Sesuai dengan humanisme, musik renaissance berkembang dalam pusat-pusat yang disebut dengan sekolah. Jika musik zaman pertengahan dipandang secara teosentris (berhubungan dengan Allah dan Pencipta-Nya) maka pada zaman renaissance, pandangannya menjadi Antroposentris (berpangkal dari martabat manusia).
Musik gereja dalam zaman renaissance pun dibagi dalam dua kelompok yakni:
1) Musik objektif/tradisional dengan lagu yang ditentukan oleh liturgis secara kultus, di sini segi rasional          menjadi dominan; syair liturgis dinyanyikan termasuk lagu gregoria dan musik polifon dengan cantus          firmus     yang diambil dari sebuah lagu Gregorian.
2) Musik subjektif yakni lagu yang baru dengan bentuk yang baru, musik dalam hal ini mencetuskan syair dalam melodi dan bunyi keseluruhan.

Dengan demikian lahirlah suatu musik gereja baru di mana manusia menjadi penting, komponis dengan ungkapan perasaan subjektif ingin menggerakkan perasaan pendengaran dan penyanyi yang mementaskan sebuah karya musik berusaha untuk menggemakan kembali perasaan sang komponis. Dalam gereja protestan kooral memegang peranan yang utama dimana lagu dinyanyikan oleh jemaat. Kooral pun kadang-kadang berpangkal dari sebuah lagu Gregorian. Dalam zaman renaissance berkembanglah paduan suara dan musik instrumen organ pun berkembang meskipun jumlah karya masih terbatas.

d. Musik Barok (1600-1750)

Musik zaman barok adalah dianggap mewakili zaman yang sangat rumit dalam berbagai hal, mulai dari melodi, bentuk-bentuk musik dan warna musiknya. Bentuk-bentuk musik yang berkembang pada saat itu adalah opera, oratorio, musik kamar dan instrumentalia.
Dalam gereja protestan, choral dinyanyian oleh jemaat dengan satu suara, kadang-kadang bergantian dengan organ. Sejak abad ke-17 choral diiringi dengan organ. Choral disusun juga untuk empat suara dengan gaya homofon dengan suara pokok. Gaya monody dan concerto dari Italia mempengaruhi perkembangan musik Gereja Protestan di Jerman. Komposisi musik umumnya ditulis untuk dipakai secara fleksibel: satu atau beberapa solis, paduan suara atau koor ganda. Kantata dipakai dalam kebaktian hari minggu sebelum atau sesudah kotbah sebagai pewartaan bacaaan Kitab Suci. Bagian kedua dari kantata sering dipakai juga waktu perjamuan.
Di Indonesia, karya J.S Bach dan G.F Handel memang tidak asing untuk koor Gereja. Meski demikian, tak jarang lagu Barok dibawakan seperti lagu Romantik dengan banyak perubahan tempo dan dinamika (crescendo dan decressendo). Dalam hal ini masih perlu dipelajari ciri pembawaan lagu Barok sehingga menambah warna dan dampak khas tersendiri ke dalam gaya musik Gereja Barat.

e. Musik zaman klasik (1750-1820)
Musik klasik adalah karya seni musik yang mengintikan daya ekspresi. Pada zaman klasik ini ditandai dengan bentuk musik seperti opera klasik, opera buffa, oratorio. Musik gereja sangat berkembang pada saat itu. Musik pertengahan abad 18 berkembanglah filsafat pencerahan dimana manusia lewat daya pikirnya mencapai suatu pengertian diri baru yang makin dewasa dan bebas. Maka hancurlah keterikatan dan berkembanglah cita-cita baru seperti martabat manusia dan kemerdekaan. Hal ini nampak dalam deklarasi hak asasi manusia di Amerka tahun 1776, dalam revolusi Prancis 1789 dalam usaha menghentikan sistem budak, dalam keinginan untuk toleransi agama dan dalam sekularisasi.
Gereja mengalami akibat negatif dari keterikatannya pada penguasa. Sebagai reaksi terhadap Barok dengan sikap patetis dan astifisial muncul keinginan ke arah hidup sederhana dan alamiah. Dalam zaman klasik titik beratnya pindah ke musik instrumental, instrumen sebagai iringan musik vokal dan musik instrumental sebagai musik murni instrumental (sonata, simfoni, concer).
Johan Sebastian Bach merupakan tokoh musik yang menjadi puncak dalam sejarah musik gereja Protestan. Maka komponis rohani selama paruh kedua abad ke-18 mau tidak mau nampak merosot dari ketinggian zaman Bach. Musik ibadat itu berhubungan erat dengan pembaharuan liturgi yang bertujuan untuk menciptakan Gereja dan ibadat yang lebih sesuai dengan kebutuhan manusia. Maka musik mendapat fungsi sebagai sarana saja, bukan lagi sebagai bagian dari liturgi sendiri. Musik bertujuan untuk menimbulkan suasana khidmat. Dalam zaman karya musik rohani pindah dari gereja ke gedung konser; bahwa karya musik gereja disesuaikan dengan tuntutan zaman dengan mengutamakan yang gampang saja. Nyanyian jemaat di kesampingkan dan diganti dengan nyanyian devosional sesuai dengan kebutuhan perorangan, bukan kebutuhan bersama sebagai jemaat.
Di Indonesia musik gereja klasik dengan iringan orkes simfoni merupakan suatu masalah tersendiri. Hal ini dapat dilihat karya misa orkestra klasik di zaman sekarang tidak begitu saja dapat dipakai dalam ibadah. Lagu-lagu yang dapat dimainkan tanpa iringan orchestra seperti lagu Ave verum, Laudate, Exultate Jubilate. Tanpa iringan orkestra pun dapat dipakai waktu komuni atau sebagai selingan pada hari raya. Lagu seperti ini sangat terbatas digunakan dalam ibadah.

f. Musik zaman Romantik (1800-1900)
Musik gereja pada zaman ini sangat berkembang di Wina. Dalam tradisi Katolik terdapat musik gereja, gerakan Cecilianis dan musik devosional. Sedangkan pada Protestan terdapat nyanyian jemaat, musik gerejawi, paduan suara yang dimainkan dengan alat musik yang digunakan seperti organ dan piano. Abad ke-19 adalah sangat kaya dengan tren perkembangan dan peristiwa yang sangat aneka bahkan perlawanan satu sama lain. Gereja abad ke-19 mengalami banyak kesulitan berhubungan dengan sekularisasi, karena musik menjadi lumpuh dan dipaksa memikirkan peranannya dalam bidang rohani.
Kesenian dalam musik ditanggung oleh instansi masyarakat, namun pada tingkat yang sangat berbeda-beda. Di samping pentas di gedung konser, gedung opera dan Gereja musik juga dipentaskan di tempat terbuka dan di rumah sebagai hiburan. Keterampilan teknik permainan piano/ biola menjadi dangkal karena tujuannya terutama demi ketenaran semata.
Musik gereja Protestan pun mengalami kesulitan abad ke-19. Rasionalisme menimbulkan keinginan anti geraja, terbukalah suatu jurang antara musik seni dan musik gereja karena hidup gereja semakin terjadi pada pinggir masyarakat. Pada abad 19 berkembanglah nyanyian ibadat. Di samping gerakan historis yang begitu luaa, maka ciptaaan karya musik Gereja baru hanya sedikit yang dihasilkan. Karya yang dihasilkan terutama berupa motet-motet dan karya musik instrumen organ.
F. Mandelssohn (1809-1847) mengarang sejumlah motet yang sering dipakai sampai sekarang. Selain itu dalam Simfoni No.5 Reformationssinfonie pun terdapat musik vokal; bagian terakhir merupakan suatu fantasi kooral. Paduan suara pun mengalami suatu perubahan dalam abad 19. Maka dimana-mana pada abad 19 dibentuk koor gereja terdiri dari siswa dan guru sekolah dan dari anggota jemaat. Tentu kemampuan koor Gereja sangat terbatas karena saingannya adalah paduan suara professional serta koor pria yang jumlahnya sangat banyak pada abad 19. Meskipun demikian dalam paruh kedua abad 19 terbentuklah organisasi koor Gereja namun tugasnya tidak terbatas pada ibadat, mereka juga mengadakan pentas umum.

g. Musik zaman abad ke-20
Musik pada zaman ini tampak pada nyanyian jemaat dan memiliki dua hal yang menonjol yaitu keagungan Tuhan, kemuliaan dalam ajaran Trinitas dan mengandung pesan terhadap kesalehan manusia. Musik pada zaman ini dikatakan sebagai abad mendatangkan perubahan, juga dalam dunia musik misalnya musik serial dan atonal. Pembaharuan dalam musik gereja abad ke-20 diawali dengan suatu dokumen dari roma, yakni Motu proprio Paus Pius X tahun 1903 yang cukup banyak menentukan perkembangan seterusnya.
Dalam dokumen ini untuk pertama kali dikatakan bahwa musik gereja merupakan bagian hakiki dari liturgi artinya tanpa unsur duniawi. Langkah ini disambung oleh gerakan liturgi yang mulai pada tahun 30-an. Dengan demikian sifat sakral dari musik Gereja mendapat suatu ketentuan baru dimana musik itu suci karena sebagai bagian integral dalam liturgi.

Rabu, 02 Juli 2014

PENDIDIKAN KARAKTER YANG BERKARAKTER

        Pendidikan sampai saat ini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan bangsa sekaligus kepribadian anak menjadi lebih baik. Pendidikan tidak dapat dikesampingkan dalam membangun generasi bangsa yang lebih baik sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju.
      Dalam menghasilkan generasi bangsa yang lebih baik, proses pendidikan harus selalu dievaluasi atau bahkan diperbaiki. Salah satu gagasan yang muncul dalam menghasilkan generasi yang lebih baik adalah pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan ini muncul karena dilihat bahwa kebanyakan masyarakat di Indonesia belum sepenuhnya berhasil dalam membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Dan yang lebih parah lagi ada yang menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia telah gagal dalam membangun karakter.
       Beberapa yang menjadi penilaian bahwa pendidikan tidak dibangun atas karakter bangsa misalnya pejabat yang pada dasarnya adalah orang yang berpendidikan masih melalukan tindakan korupsi dan menyalahgunakan jabatan dan wewenang. Belum lagi tindakan kekerasan yang akhir-akhir ini sangat marak terjadi; pembunuhan, perampokan, pelecehan seksual. Padahal manusia sebetulnya diberikan Tuhan akal dan pikiran untuk mengetahui mana yang baik dan tidak baik, mana yang bisa dilakukan atau tidak. Kemanakah karakter bangsa kita yang sebenarnya?
     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhla, atau budi pekerti yang membedakan seorang dari yang lain.  Karakter juga dipahami sebagai tabiat atau watak. Dengan demikian orang  yang berkarakter adalah orang yang memiliki akhlak, budi pekerti, mempunyai keperibadian dan berwatak. Berkaitan dengan pendidikan karakter ini, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang mempunyai nilai-nilai utama. Hal yang terpenting dalam pendidikan karakter ini adalah menekankan anak didik untuk mempunyai karakter yang baik dan diwujudkan dalm perilaku sehai-hari.
       Nilai-nilai dari agama dapat juga dijadikan sebagai rujukan mengenai pendidikan karakter ini. Nilai agama misalnya nilai kejujuran, tanggung jawab, semanga untuk membantu, saling menghormati, menegakkan keadilan, memegang amanah dan masih banyak lagi. Nilai-nilai universal agama yang dijadikan dasar dalam pendidikan karakter justru penting karena keyakinan seseorang terhadap kebenaran nilai yang berasal dari agamanya bisa menjadi motivasi yang kuat dalam membangun karakter.
      Dalam pendidikan karakter, anak didik memang harus dibangun karakternya agar mempunyai nilai-nilai kebaikan dalan dirinya. Setidaknya ada Sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal yaitu: cinta 1)Tuhan dan segenap ciptaanNya 2)kemandirian dan bertanggung jawab 3)kejujuran/ amanah 4)hormat dan santun 5)dermawan, suka menolong dan bekerja sama 6) percaya diri dan pekerja keras 7)kepemimpinan 8)baik rendah hati 9)toleransi, kedamaian dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter tersebut hendaknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan yang holistik.
        Kesembilan pilar tersebur hendaknya menjadi dasar pendidikan karakter sejak usia kanak-kanak. Banyak penelitian membuktikan bahwa pada usia ini sangat menentukan kemampuan dapat mengembangkan bahwa pada usia ini sangat memerlukan kemampuan sehingga dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Bangsa Indonesia sangat memerlukan pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan pendidikan bukan hanya sebagai wahana untuk mendidik anak didik menjadi cerdas semata, melainkan juga berkarakter. Orang yang berkarakter baik sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa ini. Hanya orang-orang yang berkarakter baik yang bisa membangun kehidupan yang berkualitas, damai dan membahagiakan.
      Terkait lembaga kependidikan, yang bertanggung jawab secara langsung berhasil atau tidaknya dalam pendidikan karakter,seorang guru semestinya bisa manjadi teladan bagi anak didiknya. Disinilah dibutuhkan bahwa guru tidak hanya mengajar saja atau melalukan pekerjaanya, tetapi seorang guru harus mendidik peserta didik dengan senang hati. Disamping pendidikan sekolah yang berkewajiban dalam membangun karakter yang baik, orang tua juga sama sekali tidak boleh melepaskan begitu saja pendidikan kepada sekolah. Orang tua justru memunyai kewajiban yang utama dalam hal ini. 

     Dengan demikian, pendidikan karakter adalah perkara yang luar biasa. Hal ini penting agar persoalan bangsa yang sangat parah ini dapat dikurangi dengan mengajarkan sejak dini tentang pendidikan karakter kepada anak didik. Yang sangat penting agar anak didik yang merupakan penerus bangsa kelak menjadi pemimpin bangsa yang berkarakter baik pula. Disamping kecerdasan, potensi lain yang harus dikembangkan adalah mengembangkan potensi anak didik agar memiliki kepribadian yang berkarakter. Dengan demikian akan terbangun generasi bangsa yang tidak hanya cerdas namun berkarakter yang baik. 

PENDIDIKAN SENI DI INDONESIA (Kajian Pemahamaan Konteks Pendidikan Seni di Sekolah)


      A  .   Pendahuluan
Indonesia saat ini belum terlepas dari krisis-krisis nilai. Krisis nilai ini dapat dilihat dari semakin banyaknya berbagai macam tindakan kekerasan yang pada umumnya melecehkan martabat manusia dengan yang lainnya. Para siswa juga saat ini cenderung melakukan hal-hal yang mungkin saja tidak diinginkan akibat semakin majunya zaman serta perkembangan teknologi saat ini
Dunia pendidikan saat ini cenderung menekankan aspek kognitif yang bermuara pada kecerdasan intelektual semata, sehingga kecerdasan emosional terasa terpinggirkan. Kecerdasan intelektual perlu diseimbangakan dengan kecerdasan emosional dalam hal ini melalui pendidikan seni sebagai pendidikan nilai.
Pendidikan seni bagi anak didik adalah untuk mengolah alam perasaan dan memberikan landasan psikis baik teoretis maupun praktis guna mengekspresikan perasaan melalui media seni. Pendidikan seni lebih mengedepankan pada perasaan yang merupakan manifestasi alam psiskis yang independen dan psikomotoris untuk memberikan kepribadian yang  utuh. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa untuk membentuk anak yang berkepribadian yang matang tidak cukup dengan kepandaian dan kecerdasan pada bidang logika melainkan harus harus seimbang dengan kecerdasan emosionalnya, dalam arti pintar menggunakan afeksinya melalui kreatifitas dan imajinasinya yang diolah menjadi karya seni yang estetis. Pada akhirnya pendidikan seni membuat siswa mampu mengendalikan perasaannya untuk menuju pada perkembangan individu yang matang, sejalan dengan itu juga cerdas secara intelektual guna menghadapi realitas sosial dan kompleks.

      B.     Pendidikan Seni
Seni merupakan sebuah cara pemahaman melalui pengalaman-pengalaman artistik individu untuk mengenali diri sendiri atau bahkan orang lain. Pendidikan seni merupakan usaha sadar untuk mewariskan kemampuan berkesenian sebagai perwujudan transformasi kebudayaan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh para seniman atau pelaku seni kepada siapapun yang terpanggil menjadi seorang seniman. Dalam perkembangan selanjutnya proses pendidikan seni mulai dilembagakan baik formal maupun nonformal dan pewarisan kesenian tidak hanya dilakukan oleh seniman atau pelaku seni, melainkan dapat dilakukan oleh pendidik seni atau siapapun yang memiliki kemampuan berkesenian.
Pada dasarnya kesenian adalah refleksi dari budaya masyarakat yang mendukungnya. Fungsi kesenian dalam konteks kebudayaan untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti kebutuhan agaman, sosial, psikologis, ekonomi, politik dan pendidikan. Kebudayaan dalam konteks ini diartikan secara luas yakni mencakup segala aspek kehidupan manusia. Dengan adanya pendidikan seni dapat ditanamkan pemahaman dan wawasan budaya sehingga memungkinkan terjadinya internalisasi nilai-nilai budaya yang melatarbelakangi kesenian tersebut. Plato pernah berkata :”Pendidikan seni harus menjadi dasar bagi pendidikan (art education should be the basic of education)”.
Di Indonesia, istilah pendidikan seni boleh jadi merupakan istilah yang diadopsi dari art education. Dalam pengertian umum pendidikan seni adalah upaya sadar untuk menyiapkan siswa melalui kegiatan pembimbingan, pembelajaran, dan pelatihan agar siswa memiliki kemampuan berkesenian. Kemampuan berkesenian ditinjau dari sasarannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1.      Pendidikan seni diarahkan agar siswa memiliki kompetensi yang terkait dengan kesenimanan atau aktor pelaku seni (tekstual) seperti memiliki kompetensi penghayatan seni, kemahiran dalam memproduksi karya seni, dan mampu untuk mengkaji seni.
2.  Pendidikan seni diarahkan agar siswa mempunyai kompetensi berkesenian sebagai bentuk pengalaman belajar dalam rangka pendewasaan potensi individu sehingga dapat menjadi “manusia seutuhnya”.
Makna pendidikan seni adalah pemberian “pengalaman estetik” kepada siswa. Pengalaman estetik adalah pengalaman menghayati nilai keindahan. Pemberian pengalaman estetik melalui dua kegiatan yang saling berkaitan yakni Apresiasi” dan Kreasi”. Dalam kegiatan apresiasi dan kreasi terkandung nilai ekspresi sebagai bentuk ungkapan yang bermakna. Nilai ekspresi dalam seni merupakan hasil pengolahan cipta, rasa dan karsa. Demikian dalam pendidikan seni, siswa diharapkan dapat menginternalisasi nilai-nilai estetik yang berfungsi untuk melatih kepekaan rasa, kecerdasan intelektual dan mengembangkan imajinasinya. Pengalaman estetik tidak tidak mungkin bisa dicapai tanpa melibatkan olah rasa (emosi, estetika), oleh hati (karsa, etika), olah cipta (pikir, logika) dan olah raga (fisik, kinestetika terutama untuk seni tari).
            Tujuan pendidikan seni adalah untuk mengembangkan pengalaman estetik siswa agar
      1.      Memiliki kepekaan rasa dan kepedulian terhadap sesuatu yang indah
      2.      Mudah dan cermat menerima rangsangan dari luar
      3.      Mudah tersentuh nuraninya sehingga menjadi manusia yang sensitif.
Hakekat dari pendidikan seni itu sendiri adalah suatu proses kegiatan untuk mengembangkan nilai-nilai yang bermakna di dalam diri manusia melalui pembelajaran seni. Nilai-nilai yang dimaksud berkaitan dengan pengembangan imajinasi, intuisi, pikiran, kreativitas, dan kepekaan rasa.

      C.    Penyelengaraan Pendidikan Seni
Penyelenggaraan pendidikan seni menurut aturan pemerintah yang berlaku dapat digolongkan menjadi dua yakni pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan seni yang diselenggarakan secara formal dapat dibedakan di sekolah umum dan pendidikan seni di sekolah kejuruan. Tujuan pendidikan seni di sekolah umum adalah bukan untuk mewariskan keterampilan atau kemahiran berkesenian melainkan memberikan pengalaman berkesenian kepada siswa dalam rangka untuk membantu mengembangkan potensi yang dimiliki terutama potensi perasaan (kecerdasan emosional) agar seimbang dengan potensi kecerdasan intelektualnya.
Pendidikan yang diselenggarakan pada sekolah kejuruan biasanya telah mempunyai fokus kajian pada bidang seni tertentu serta penjenjangan pendidikan. Tujuan pendidikan seni pada sekolah kejuruan adalah untuk mencetak bakal calon seniman atau pelaku seniman yang mahir dan pengkaji seni yang handal. Dan yang terpenting adalah kemahiran tersebut dapat menjadi sumber penghasilan. Oleh karena itu siswa sekolah kejuruan memperoleh materi pelajaran yang lebih lengkap, seperti penguasaan elemen disiplin ilmu seni, keterampilan teknis hingga nilai filosofisnya yang pada akhirnya akan memiliki kemahiran pada seni yang dipelajarinya.
Pendidikan seni nonformal dalam penyelenggaraannya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu pendidikan seni yang dilembagakan dan tidak dilembagakan (informal). Pendidikan seni yang dilembagakan adalah pendidikan seni yang dikelola sendiri secara perorangan maupun berbadan hokum seperti kursus-kursus dan sanggar. Sistem pembelajaran di kursus dikelola sedemikian rupa dengan kurikulum yang jelas meskipun dalam prosesnya pembelajaran dibuat agak longgar. Pendidikan seni yang tidak dilembagakan atau pendididkan informal adalah pendidikan seni yang berlangsung di lingkungan keluarga maupun masysrakat.

      D.    Kesimpulan
Pendidikan seni merupakan upaya sadar untuk mewariskan kemampuan berkesenian yang dapat dilakukan oleh seniman, pelaku seni, pendidik seni, atau siapa pun yang memiliki kemampuan berkesenian dan mampu untuk mempelajarinya. Makna pendidikan seni adalah pemberian “pengalaman estetik” kepada siswa dimana pengalaman ini merupakan pengalaman menghayati nilai keindahan, bagaimanapaun keindahan itu dimaknai. Penyelenggaraan pendidikan seni digolongkan menjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal.
Pemberian pengalaman estetik sebagai esesnsi pendidikan seni merupakan saran yang bermakna dan bermanfaat dalam upaya menmukan nilai-nilai kehidupan melalui karya seni. Pengalaman estetik dalam pendidikan seni diberikan melalui kegiatan apresiasi dan kreasi. Didalam kedua kegiatan tersebut terkandung aspek ekspresi



Kamis, 19 Juni 2014

SISTEM DEMOKRASI VERSI BATAK (Suatu Kajian Falsafah Batak Toba Dalam Dalihan Na Tolu)

Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Masyarakat Batak Toba secara tradional mendiami hampir seluruh wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Utara.  Ditinjau dari letak geografisnya, wilayah kediaman masyarakat Batak Toba diapit oleh kelompok-kelompok etnis Batak lainnya, yakni kelompok masyarakat Pak-pak, Simalungun, dan Karo di sebelah barat laut hingga timur laut dan kelompk masyarakat Mandailing dan Angkola di sebelah tenggara hingga barat daya. Jika dilihat dari letak kediamannya, masyarakat Batak Toba Persis berada di tengah wilayah etnis Batak yang lainnya.
Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba secara tradisional diatur dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan Na Tolu.  Dalihan Natolu sebagai sistem kekerabatan orang batak ternyata mempunyai nilai yang tidak kalah dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat.

A.      Asal Mula Dalihan Na Tolu
Menurut mitologi Batak Toba asal mula dari Dalihan Na Tolu adalah: di suatu daerah dikenal seorang raja yaitu Raja Panggana. Dia dikenal pandai memahat dan mengukir. Untuk memenuhi biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Dalam kehidupannya sehari-hari dia merasa gelisah akan hidupnya dan memutuskan untuk mengasingkan diri ke suatu tempat yang sunyi. Dalam perjalanannya, dia tertarik dengan salah satu pohon yang ada di hutan tersebut. Dia memperhatikan dahan pohon tersebut seolah-olah itu menari. Kemudian dia tertarik untuk memahat pohon itu menjadi patung putri yang bisa menari. Dia pun merasa senang dan kegelisahannya pun hilang. Sang Raja merasa sangat gembira dan menari sepanjang hari bersama putri yang diciptakaanya dari sebatang kayu. Karena persediaan makannya telah habis, dia memutuskan untuk kembali ke kota dan berharap akan kembali lagi ke hutan untuk menari dengan putri ciptaannya tesebut.
Beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Pria itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari putri tersebut. Kemudian dia memeberi pakaian dan perhiasan kepada patung itu dan dia pun merasa semakin senang. Menarilah dia dengan sangat puas dengan patung tersebut, setelah puas menari, dia berusaha untuk membawa patung putri itu dengannya tetapi tidak bisa karena hari sudah malam. Kemudian dia pun pergi dengan meninggalkan pakaian dan perhiasan masih melekat pada patung putri tersebut. 
Kemudian seorang dukun berjalan ke arah hutan dan menemukan patung putri tersebut. Datu Partawar demikian nama dukun tersebut terpesona melihat patung putri tersebut. Kemudian dia berpikir untuk menghidupkan patung putri tersebut. Dengan tekad yang ada padanya, Datu Partawar menyembah menengadah ke atas dengan mantra, kemudian datanglah seorang putri yang cantik memegang tangannya dan mencium keningnya sehingga patung tersebut hidup. Kamudian putri itu memberi nama patung itu Nainmanggale.
Cerita kecantikan putri tersebut tersebar sampai ke seluruh daerah termasuk kepada Raja Panggana dan Pria penjual pakaian serta perhiasan tersebut. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat putri tersebut dan kemudian dia teringat akan patung yang telah dipahatnya tersebut. Demikian pula penjual pakaian tersebut, heran melihan kain dan perhiasan yang dipakai oleh sang putri, ia mendekati putri tersebut dan berusahan meminta kain dan perhiasan. Karena tidak dapat dibuka, pria itu menyatakan bahwa putri itu adalah miliknya. Raja Panggana menolak karena dia berpendapat bahwa dialah yang memahat putri tersebut. Seketika itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa putri itu adalah miliknya karena dia yang memberikan nyawa kepada sang putri. Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusannya.
Kemudian mereka menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin dan menetapkan tiga keputusan untuk mereka yaitu:
a.       Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah dia menjadi ayah dari Putri Nainmanggale yang disebut dengan Suhut.
b.      Karena Baoa Partigatiga (Pria penjual baju dan perhiasan) yang memberikan pakaian dan perhiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale yang disebut dengan Boru.
c.       Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah dia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale yang disebut dengan Hula-hula.

Mereka bertiga setuju dengan keputusan ini dan sejak itu mereka membuat sebuah perjanjian mereka sepakati dengan:
a.       Bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale, Raja Panggana, Baoa Partiga-tiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
b.      Bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.

Demikian Legenda Putri Naimanggale yang menggambarkan asal muasal dari Dalihan Na Tolu di dalam kekerabatan Batak. Dari cerita tersebut bahwa hakikat Dalihan Na Tolu adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi.

B.       Pengetian Dalihan Na Tolu
    Dalihan Na Tolu jika diartikan secara hurufiah adalah “Dalihan” artinya sebuah tungku yang terbuat dari batu, sedangkan “Dalihan Na Tolu” ialah tungku tempat memasalah yang diletakkan diatas dari tiga batu. Ketiga dalihan yang dibuat berfungsi sebagai tempat tungku wadah memasak diatasnya. Dalihan yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau ditanam ditanah serta jaraknya seimbang antara satu batu dengan yang lain. Tingginya sama agar dalihan yang diletakkan tidak miring dan menyebabkan isinya dapat tumpah.
Falsafah Dalihan Na Tolu dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagaian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak diatas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang terdapat ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa batak benda yang digunakan untuk mengganjal adalah sihal-sihal. Istilah Dalihan Na Tolu tersebut menjadi Dalihan Na Tolu Paopat sihal-sihal.

C.      Dalihan Na Tolu Sumber Hukum Adat Batak

Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba disebut Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu  tersebut adalah Somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru. Hula-hula adalah pihak keluarga pemberi istri, anak boru merupakan pihak keluarga penerima istri dan dongan tubu adalah sesama saudara laki-laki dari rahim ibu yang sama.
 1.        Somba Marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain: Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
 Dalam adat Batak, pihak boru-lah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hula-nya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hula-nya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula.

2.        Manat Mardongan Tubu
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri
Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya.

3.        Elek Marboru
Boru adalah kelompok orang dari saudara perempuan. Dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari sering didengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat. Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat karena saat itu dia sebagai boru.
Pandangan dan sikap terhadap anak boru juga merupakan hal yang penting di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Anak Boru dianggap pihak yang selalu berperan di dalam keberlangsungan berbagai pekerjaan. Tanpa kehadiran anak boru, sebuah upacara tidak akan dapat dilaksanakan. Walaupun demikian, anak boru merupakan pihak yang harus diberi perlindungan, perhatian dan dijaga perasaannya oleh hula-hula.

D.       Kesimpulan
Hingga saat ini, sikap dan perilaku sosial semacam ini tidak hanya berlaku bagi orang Batak Toba yang tinggal di pedesaan, tetapi juga berlaku bagi mereka yang telah tinggal di perkotaan. Dengan kata lain, sangat penting bagi seorang Batak Toba untuk memahami dan mengetahui garis keturunan yang tercermin dalam berbagai hubungan marga. Hal ini penting tidak hanya untuk posisi sosial dari masing-masing pihak yang berkenalan, tetapi juga untuk mengetahui asal-usul mereka masing masing

Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal. Menghargai budaya bukan berarti kita meninggalkan modernisasi, karena budaya sudah menjadi ciri khas bangsa kita.