Batak merupakan salah satu suku bangsa
yang ada di Indonesia. Masyarakat Batak Toba secara tradional mendiami hampir
seluruh wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Utara. Ditinjau dari letak geografisnya, wilayah
kediaman masyarakat Batak Toba diapit oleh kelompok-kelompok etnis Batak
lainnya, yakni kelompok masyarakat Pak-pak, Simalungun, dan Karo di sebelah
barat laut hingga timur laut dan kelompk masyarakat Mandailing dan Angkola di
sebelah tenggara hingga barat daya. Jika dilihat dari letak kediamannya,
masyarakat Batak Toba Persis berada di tengah wilayah etnis Batak yang lainnya.
Tata cara kehidupan
masyarakat Batak Toba secara tradisional diatur dalam sebuah sistem sosial
kemasyarakatan yang disebut dengan Dalihan
Na Tolu. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara
pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan Na Tolu. Dalihan Natolu sebagai sistem kekerabatan
orang batak ternyata mempunyai nilai yang tidak kalah dengan system lain yang
sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan Natolu” ini melambangkan
sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat.
A.
Asal
Mula Dalihan Na Tolu
Menurut
mitologi Batak Toba asal mula dari Dalihan Na Tolu adalah: di suatu daerah
dikenal seorang raja yaitu Raja Panggana. Dia dikenal pandai memahat dan
mengukir. Untuk memenuhi biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi
permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Dalam
kehidupannya sehari-hari dia merasa gelisah akan hidupnya dan memutuskan untuk
mengasingkan diri ke suatu tempat yang sunyi. Dalam perjalanannya, dia tertarik
dengan salah satu pohon yang ada di hutan tersebut. Dia memperhatikan dahan
pohon tersebut seolah-olah itu menari. Kemudian dia tertarik untuk memahat
pohon itu menjadi patung putri yang bisa menari. Dia pun merasa senang dan
kegelisahannya pun hilang. Sang Raja merasa sangat gembira dan menari sepanjang
hari bersama putri yang diciptakaanya dari sebatang kayu. Karena persediaan
makannya telah habis, dia memutuskan untuk kembali ke kota dan berharap akan
kembali lagi ke hutan untuk menari dengan putri ciptaannya tesebut.
Beberapa
hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Pria
itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari putri tersebut. Kemudian
dia memeberi pakaian dan perhiasan kepada patung itu dan dia pun merasa semakin
senang. Menarilah dia dengan sangat puas dengan patung tersebut, setelah puas
menari, dia berusaha untuk membawa patung putri itu dengannya tetapi tidak bisa
karena hari sudah malam. Kemudian dia pun pergi dengan meninggalkan pakaian dan
perhiasan masih melekat pada patung putri tersebut.
Kemudian
seorang dukun berjalan ke arah hutan dan menemukan patung putri tersebut. Datu Partawar demikian nama dukun
tersebut terpesona melihat patung putri tersebut. Kemudian dia berpikir untuk
menghidupkan patung putri tersebut. Dengan tekad yang ada padanya, Datu
Partawar menyembah menengadah ke atas dengan mantra, kemudian datanglah seorang
putri yang cantik memegang tangannya dan mencium keningnya sehingga patung
tersebut hidup. Kamudian putri itu memberi nama patung itu Nainmanggale.
Cerita
kecantikan putri tersebut tersebar sampai ke seluruh daerah termasuk kepada
Raja Panggana dan Pria penjual pakaian serta perhiasan tersebut. Alangkah
terkejutnya Raja Panggana setelah melihat putri tersebut dan kemudian dia
teringat akan patung yang telah dipahatnya tersebut. Demikian pula penjual
pakaian tersebut, heran melihan kain dan perhiasan yang dipakai oleh sang
putri, ia mendekati putri tersebut dan berusahan meminta kain dan perhiasan.
Karena tidak dapat dibuka, pria itu menyatakan bahwa putri itu adalah miliknya.
Raja Panggana menolak karena dia berpendapat bahwa dialah yang memahat putri
tersebut. Seketika itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa
putri itu adalah miliknya karena dia yang memberikan nyawa kepada sang putri.
Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusannya.
Kemudian
mereka menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin dan menetapkan tiga
keputusan untuk mereka yaitu:
a. Karena
Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah dia
menjadi ayah dari Putri Nainmanggale yang disebut dengan Suhut.
b. Karena
Baoa Partigatiga (Pria penjual baju
dan perhiasan) yang memberikan pakaian dan perhiasan kepada patung, maka
pantaslah ia menjadi Amangboru dari
Putri Naimanggale yang disebut dengan Boru.
c. Karena
Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah
dia menjadi Tulang dari Putri
Naimanggale yang disebut dengan Hula-hula.
Mereka bertiga setuju dengan keputusan
ini dan sejak itu mereka membuat sebuah perjanjian mereka sepakati dengan:
a. Bahwa
demi kepentingan Putri Naimanggale, Raja Panggana, Baoa Partiga-tiga dan Datu
Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi
dengan jalan musyawarah.
b. Bahwa
demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan
turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga
dan Datu Partawar.
Demikian Legenda Putri
Naimanggale yang menggambarkan asal muasal dari Dalihan Na Tolu di dalam
kekerabatan Batak. Dari cerita tersebut bahwa hakikat Dalihan Na Tolu adalah
musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi.
B.
Pengetian
Dalihan Na Tolu
Dalihan Na Tolu jika diartikan secara
hurufiah adalah “Dalihan” artinya sebuah tungku yang terbuat dari batu,
sedangkan “Dalihan Na Tolu” ialah tungku tempat memasalah yang diletakkan
diatas dari tiga batu. Ketiga dalihan yang dibuat berfungsi sebagai tempat
tungku wadah memasak diatasnya. Dalihan yang dibuat haruslah sama besar dan
diletakkan atau ditanam ditanah serta jaraknya seimbang antara satu batu dengan
yang lain. Tingginya sama agar dalihan yang diletakkan tidak miring dan
menyebabkan isinya dapat tumpah.
Falsafah
Dalihan Na Tolu dimaknai sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan
masyarakat Batak. Tungku merupakan bagaian peralatan rumah yang sangat vital.
Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak
makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan hidup. Dalam prakteknya,
kalau memasak diatas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang terdapat ketimpangan karena
bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain
untuk mengganjal. Dalam bahasa batak benda yang digunakan untuk mengganjal
adalah sihal-sihal. Istilah Dalihan
Na Tolu tersebut menjadi Dalihan Na Tolu
Paopat sihal-sihal.
C.
Dalihan
Na Tolu Sumber Hukum Adat Batak
Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba disebut Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu tersebut adalah Somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru. Hula-hula adalah pihak keluarga pemberi istri, anak boru merupakan pihak keluarga penerima istri dan dongan tubu adalah sesama saudara laki-laki dari rahim ibu yang sama.
1.
Somba
Marhula-hula
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak
istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane
oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam
adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga
apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya,
disebut bagot tumandangi sige.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan
putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga.
Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada
tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih
kelihatan dalam upacara Saurmatua
(meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan
dipanggil satu-persatu, antara lain: Bonaniari,
Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
Dalam adat Batak,
pihak boru-lah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang
dikuasai hula-hula, tanah adat selalu
dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hula-nya akan kesulitan mencari
nafkah apabila tidak menghormati hula-hula-nya.
Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula.
2.
Manat
Mardongan Tubu
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu
rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah
marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya,
marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam
kegiatan adat menyatukan diri
Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan
adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut.
Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah
seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin.
Gambaran dongan tubu adalah sosok
abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara
abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan
dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Apabila dalam suatu adat Batak terdapat
pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan
perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu
keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas.
Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat
di bawahnya.
3.
Elek Marboru
Boru adalah kelompok orang dari saudara perempuan. Dan pihak marga suaminya
atau keluarga perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari sering didengar istilah elek marboru yang artinya agar saling
mengasihi supaya mendapat berkat. Istilah boru
dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu
mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat karena saat itu
dia sebagai boru.
Pandangan dan sikap terhadap anak boru juga merupakan hal yang penting
di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Anak
Boru dianggap pihak yang selalu berperan di dalam keberlangsungan berbagai
pekerjaan. Tanpa kehadiran anak boru, sebuah upacara tidak akan dapat
dilaksanakan. Walaupun demikian, anak
boru merupakan pihak yang harus
diberi perlindungan, perhatian dan dijaga perasaannya oleh hula-hula.
D. Kesimpulan
Hingga saat ini, sikap dan perilaku sosial
semacam ini tidak hanya berlaku bagi orang Batak Toba yang tinggal di pedesaan,
tetapi juga berlaku bagi mereka yang telah tinggal di perkotaan. Dengan kata
lain, sangat penting bagi seorang Batak Toba untuk memahami dan mengetahui
garis keturunan yang tercermin dalam berbagai hubungan marga. Hal ini penting
tidak hanya untuk posisi sosial dari masing-masing pihak yang berkenalan,
tetapi juga untuk mengetahui asal-usul mereka masing masing
Dalihan Na Tolu
bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada
saatnya menjadi Hula hula/Tondong,
ada saatnya menempati posisi Dongan
Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru.
Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi
seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara
adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk
melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas
kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM
DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang
universal. Menghargai budaya bukan berarti kita meninggalkan modernisasi,
karena budaya sudah menjadi ciri khas bangsa kita.